Menghalau Gajah VS Ekonomi Kerakyatan

Terdapat suatu polemik yang besar antara mencari perbaikan taraf ekonomi rakyat dan menyeimbangkan ekologi. Salah seorang Calon Presiden Indonesia 2009 pernah mengemukakan untuk mengembangkan/memperluas pertanian dengan menebang sebagian hutan atas nama mengembangkan ekonomi kerakyatan (sesuatu hal yang tidak pernah kupelajari dengan pakar ekonomi kerakyatan alm. Prof. Mubyarto dan beliau pun tidak akan pernah mengajarkan hal seperti itu). Hmmmmm aku TIDAK merekomendasikan Capres seperti ini. Mengembangkan ekonomi kerakyatan bukan lah meningkatkan taraf hidup rakyat dengan menghancurkan rakyat lain beserta ekologinya.

Mengembangkan pertanian tak hanya dengan memperluas lahan pertanian (ekstensifikasi) tetapi yang lebih penting menurutku adalah intensifikasi. Intensifikasi salah satunya bisa dilakukan dengan membuat bibit yang handal (Thailand dan Philipina telah sangat maju dibidang ini). Bibit padi yang bisa panen 4 kali dalam 1 tahun, dengan jumlah kuantitas panen yang tinggi, tahan hama, dan perawatan mudah sangat dibutuhkan. Bibit yang seperti ini sangat perlu dikembangkan. Di bidang perkebunan, kita kalah dengan malaysia. Jika 3/4 hektar lahan karet di malaysia bisa menghasilkan karet setara dengan 1 s/d 1,5 hektar karet di Indonesia. Berarti perkebunan karet di Indonesia sangat boros lahan. Hal ini juga terjadi pada tanaman sawit. Intensifikasi juga bisa dengan mengembangkan lahan tidak produktif.

Sering bolak-balik Pekanbaru-Jakarta selalu membuat hatiku miris ngeliat hutan Riau yang sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah hutan homogen sawit. Semua sawit, sawit...sawit...dan sawit. Dan sebagian hutan akasia untuk bahan baku bubur kertas. Hutan alami sudah sangat jarang terlihat. Yang masih lumayan adalah hutan tepi sungai Teratak Buluh khususnya di daerah Buluh China Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar yang masih memiliki hutan alami karena merupakan tanah ulayat. Tetapi hutan ini pun sudah mau dibeli oleh investor dari negara tetangga dekat untuk dijadikan perkebunan sawit. Untung tetua adat dan datuk masih mempertahankan hutan tanah ulayat tersebut.

Apa yang terjadi jika hutan ditebang dan dijadikan lahan pertanian ataupun perkebunan?

Ini bukan teka-teki. Ini real pertanyaan yang sebenarnya semua orang tahu, tapi tidak mahu tahu. Sang Capres itu pun tahu.

Satu permasalahan yang terjadi di Riau dengan makin meluasnya lahan perkebunan baik oleh rakyat maupun oleh para investor, yaitu terganggunya ekologi baik flora maupun fauna. Untuk fauna, permasalahannya adalah pada gajah. Gajah mempunyai daerah "kekuasaan" yang luas di hutannya dan mempunyai jalur khusus untuk mencari makannya. Gajah adalah makhluk hewan yang punya daya ingat yang tinggi. Jalur jalannya mencari makan umumnya tidak berubah. Tetapi sekarang jalurnya telah berubah menjadi lahan pertanian ataupun perkebunan. Tentu saja sang gajah akan melewati lahan tersebut yang akhirnya tanaman pada jalur tersebut akan rusak. Mohon untuk tidak menyalahkan gajah tersebut. Gajah itu telah lama hidup beranak pinak di hutan tersebut. Kedatangan manusia yang katanya mempunyai daya akal dan pikiran yang tinggi, tetapi tidak mau memikirkan kehidupan makhluk lainnya.

Maka penghalauan dan penangkapan gajah pun dilakukan oleh manusia. Gajah yang tertangkap kemudian ada yang dibunuh dan ada juga yang dipelihara. Pemeliharaan gajah bukanlah menyelamatkan fauna, tetapi justru membuat gajah tersebut jadi bodoh. Bodoh sebagai hewan yang harusnya hidup bebas. Maluri hewannya pun mulai hilang.

Jika sememang peneliti Indonesia bisa menghasilkan bibit tanaman yang bagus dan dapat menggunakan lahan yang kecil tapi menghasilkan panen yang tingi, alangkah bagusnya. Sehingga lahan hutan tidak perlu dialihkan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Sehingga hutan tempat hidup flora dan fauna pun tidak terganggu.