Jalan Panjang Menuju Perbaikan : Menguak Belantara Permasalahan Kehutanan Indonesia

Jalan Panjang Menuju Perbaikan merupakan sub bab pada buku Kepedulian yang Terganjal : Menguak Belantara Permasalahan Kehutanan Indonesia. Buku ini bercerita tentang perjalanan DR. Ir. H. Transtoto Handadhari, SHA., M.Sc. Sub Bab tersebut berisi tanggapan atas pertanyaan kepadanya :
Terjadinya degradasi dan deforestasi hutan yang ujung-ujungnya menurunkan kontribusi positif hutan terhadap kondisi ekologi, sosial dan ekonomi, serta dampak negatifnya bagi bangsa dan negara kita. Menurut anda, akar masalah semua itu apa sih?
(Halaman 53)

*****

Kita bicarakan dulu deforestasi dan degradasi hutan. Berdasarkan hasil kajian yang dapat dilakukan, ada lima faktor penyebab utamanya.

Pertama, penebangan kayu yang berlebihan (over-cutting), dan sebagian terbesar dilakukan tanpa izin (illegal logging). Hal ini antara lain dipicu oleh :
  • Pembalakan kayu melalui izin resmi Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang melampaui kemampuan potensi lestari hutan,
  • Penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang lalu-lalu sebagai tindak lanjut kegiatan konservasi hutan, baik untuk kegiatan non-kehutanan ataupun untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang pada umumnya dipaksakan pada hutan alam sekunder yang sebenarnya masih baik,
  • Terjadinya perdagangan gelap dokumen peredaran kayu (SKSHH atau apapun namanya), dan yang sempat marak pada tahun 2001-an adalah melalui perizinan tebangan masyarakat dalam bentuk Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) seratus hektaran di banyak kabupaten.

Kedua, kegiatan konservasi lahan hutan ke usaha non-kehutanan yang menurut World Bank merupakan 67 persen dari seluruh penyebab deforestasi.

Ketiga, perambahan kawasan hutan oleh masyarakat. Sebagai gambaran sampai saat ini terdapat tidak kurang dari sepuluh juta jiwa peladang berpindah maupun pemukim menetap yang berada di dalam kawasan hutan negara.

Keempat, kebakaran hutan yang masih sulit dikendalikan. Di antaranya kebakaran besar tahun 1982-an, 1994, 1997, dan tahun 2002 yang menghanguskan hutan alam dan hutan tanaman jutaan hektar.

Dan kelima, perubahan politik penyelenggaraan negara begitu cepat, antara lain berkaitan dengan era reformasi dan proses demokratisasi yang berlebihan, serta otonomi daerah mulai tahun 2001 yang tidak dipersiapkan secara memadai sehingga menyebabkan hutan dijadikan sasaran pendapatan daerah serta mengalami penjarahan yang sulit dihentikan.

Sedangkan secara khusus, keenam, adalah gagalnya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk mencapai target, terutama dikarenakan :
  • Sistem perencanaan yang tidak jelas dan tidak matang, serta pengawasan pelaksanaannya yang lemah;
  • Adanya kecendrungan pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HP-HTI) untuk hanya memperoleh kayu di lahan calon hutan tanaman yang di lapangan umumnya masih berlimpah;
  • Terjadinya konflik lahan di berbagai tempat, terutama dengan masyarakat setempat maupun antar pengusaha HTI;
  • Kebijakan pemerintah dan Departemen Kehutanan yang dianggap tidak konsisten bahkan tidak kondusif, diantaranya penerbitan kebijakan Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk penghentian kucuran Dana Reboisasi (DR) tahun 200 melalui Surat Edaran Sekjen Dephutbun nomor 549/II-Keu/2000 tanggal 20 April 2000, dan kebijakan terakhir Menteri Kehutanan tanggal 24 Oktober 2002 yang mencabut SK 15 HP-HTI yang dianggap menjadi pemicu semakin tersendatnya pembangunan HTI. Kontroversi kebijakan pencabutan SK HP-HTI tersebut di atas bahkan berujung di Pengadilan Tata Usaha Negara yang menempatkan Menteri Kehutanan Prakosa pada pihak yang kalah.

Pada era tahun 2001-2003, pembangunan hutan tanaman semakin sulit dilakukan karena permasalahan permodalan, dana reboisasi yang tidak lagi digunakan sebagai insentif pinjaman, permasalahan konflik lahan dan gangguan masalah sosial lainnya, serta ancaman kemungkinan masih akan dicabutnya perizinan HP-HTI oleh pemerintah. Praktik in-efficiency dalam pembangunan HTI, serta rendahnya nilai kayu yang ditanam sehingga menyebabkan pengusahaan HTI yang tidak terkait langsung dengan industri kebanyakan merugi, dan pengusahaan hutan tanaman dengan investasi besar jangka panjang, rentan kerusakan itu tidak menarik investor. Paradigma membangun kehutanan melalui pembangunan hutan tanaman ini harus segera diperbaiki.