Perencana Pembangunan

Perencana Pembangunan


Perdebatan Teori vs Praktek

Perdebatan manfaat teori perencanaan dalam praktek pernah dikemukakan john friedman dalam journal of planning education dan research tahun 2008 (the uses of planning theory: a bibliographic assay) yang mengemukakan bahwa sejak 50 tahun perencanaan atau ‘planner’ dinyatakan sebagai suatu profesi di America, masih sedikit dampak relevansi teori perencanaan pada praktek. Salah satu penyebabnya adalah karena ‘planning without facts’ artinya banyak perencanaan yang tidak paham akan masalah yang direncanakannya (planning in the dark), perencanaan datang merencanakan di suatu daerah yang dia tidak kenal. Di Indonesia kenyataannya hampir sama : pendekatan teknokratik dan pragmatik dalam praktek perencanan juga terjadi dimana melalui jasa konsultan produk rencana dihasilkan. Konsultan datang ke suatu daerah melakukan survei dan pengamatan lebih kurang 3 bulan, enam bulan kemudian rencana sudah dapat dihasilkan. Proses konsultasi dan komunikasi dilakukan secara monolog melalui presentasi laporan yang dia tidak paham akan masalah yang dia rencanakan. Perencanaan pembangunan (aparatur perencana didaerah) secara institusi kelembagaan yang harusnya ada dipihak pengambil keputusan sangat menaruh keyakinan akan hasil penilitian yang didapat secara rasional pragmatik. Proses dialogis tidak berlangsung antar berbagai pemangku kepentingan. Banyak orang tidak paham, dinegara maju yang sangat demokratis proses perencanaan pembangunan berlangsung sangat panjang, dimana sebagai contoh perencana suatu lokasi terminal; dan pasar ditentukan dengan proses kegiatan yang hampir ratusan kali rapat, diskusi, pembahasan dan perdebatan yang sangat panjang (communicative atau collaborative planning approach). Dilain pihak, perencanaan pembangunan rumah sakit dan sekolah dapat saja ditetapkan dengan suatu proses yang sangat singkat dan cepat mengingat kebutuhan pemanfaatannya yang sangat,mendesak (rationale planning approach).

Patsey Healey tahun 1997 pernah mengusulkan pendekatan perencanaan kolaboratif, yang tidak mengandalkan teori tetapi mengemukakan prosedur perencanaan yang terstruktur dan sistematis dalam mengambil keputusan rencana. Hasilnya bahkan lebih efektif, bahkan larry suskind dalam bukunya the consensus building (1999) dan john forester dalam deliberative practitioner (1999) mengemukakan bagian komunikasi yang baik secara prosedural dapat membangun suatu consensus dari berbagai macam kompleksitas permasalahan perencanaan yang rumit menjadi jernih. Judith innes (2004) dalam planning in the complex system membenarkan hal ini, komunikasi yng baik atau berbagai aktor dalam perencanaan sangat diperlukan.

Kelompok pemikir ilmu perencanaan ini mendapat kritik dari tore sager (2010) yang mengatakan tidak selamanya consensus dapat dibangun untuk merencanakan suatu (critical communicative planning) karena banyaknya perbedaan (deep differences) yang sangat mendasar dari keadaan yang makin kompleks dan multi-system, multi-actors dan multi discipline, dan sekarang keadaan ini sudah terjadi dimana-mana. Flyvberg (1998) mengembangkan pendapat Foucault dan Habermas (1981) yang mengatakan bahwa kekuasaan (power) adalah kekuatan yang sering merusak sistem perencanaan yang sudah disusun dengan komunikasi yang baik antar berbagai aktor. Wildavsky (1984) agak sinis meragukan kemampuan perencanaan dapat mengatasi permasalahan karena banyaknya transaksi politik yang bekerja dalam praktek perencanaan; bahkan dia mengatakan ’if planning is everything that will be nothing’.

Dari berbagai perdebatan diatas, dapat ditarik beberapa bahasan bahwa, pendekatan perencanaan yang bersifat rasional, technokratik, pragmatic, substantif harus dikombinasikan dengan perencanaan yang bersifat kolaboratif, prosedural dan komunikatif dalam membangun konsensus. Artinya para perencana harus mengerti prosedur, tahapan perencanaan, langkah-langkah kegiatan, cara berkomunikasi dalam perencaan, di sisi lain perencanaan juga harus paham substantif perencanaannya (ekonomi, fisik, sosial dan lingkungan). Perencanaan harus kreatif dalam memahami prosedur dan substantif peerncanaan, dan perencana harus terus berlatih dan selalu meng-update kemampuannya agar terus berkembang. Perencana harus paham berkomunikasi (forester), harus paham berpolitik (Wildavsky,Flyvberg), harus paham bernegosiasi (Susskind, Fisher, Riffa) dan bertransaksi (Fried 1973: transactive planning), harus paham berkolaborasi & bekerjasama: healey,inns,booher,forester,harus paham segalanya (?). teori dan praktek harus seimbang.

Masa Depan Kompetensi Perencana Pembangunan

Apabila Wildavsky agak sinis dan pesimis dengan kompetensi perencana karena masuknya unsur-unsur kekuasaan, politik dan transaksi kepentingan dan uang, maka jawabannya adalah bukan profesi ini harus dibuang, melainkan harus diperkuat dan dikembangkan kompetensinya. Hanya kompetensi perencana yang dapat menjelaskan berbagai kompleksitas permasalahan yang rumit menjadi sederhana, yang tidak terstruktur menjadi terstruktur, yang tidak sistematis menjadi sistematis. Profesi perencana tidak dapat menjadi ilmu segalanya yang dapat mengobati berbagai penyakit pembangunan yang ada. Dia hanya kompetensi yang membantu pengambil keputusan dalam memberikan pilihan alternatif kebijakan dari suatu rencana yang telah disusun secara substantip dan prosedural dengan baik. Profesi ini masih sangat menjanjikan dan sangat dibutuhkan di suatu sistem kenegaraan yang sangat komplek, multi-sistem, multi-aktor, multi-dimensi, dsb.

Kalau begitu apa yang dapat dikembangkan dari kompetensi perencana ini dimasa datang. Di masa datang kompetensi perencana harus dapat menunjukkan kemampuannya dalam memberikan alternatif-alternatif pemecahan masalah perencanaan dengan akurat dan dapat memberikan berbagai kemungkinan pemecahan dengan baik, (ingat perencanaan bukanlah ’ problem solver’ bagi pembangunan). Tantangannya adalah bagaimana menyusun suatu prameter-prameter pengukur keberhasilan rencana dimasa datang. Hampir sebagian besar (atau mungkin dapat dikatakan mendekati 90%) produk perencanaan (provinsi, kabupaten dan kota) produknya tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang diprogramkan. Umumnya apa yang direncanakan sifatnya menerus dan status quo artinya apa yang direncanakan sifatnya hanya mendata apa yang sudah ada plus tambahan-tambahan (revisi) sedikit dari apa yang sudah dijalankan sebelumnya dengan sedikit (minor) perubahan, dan kadang perubahan minor yang sedikit itu saja, sering secara konsekuen tidak dapat dijalankan.

Kesimpulan Dan Rangkuman

Apa kesimpulan yang dapat ditarik dari bahasan kompetensi perencana pembangunan diatas adalah bahwa kompetensi perencanaan memang masih sangat dibutuhkan terutama diberbagai daerah (kabupaten dan kota) dengan penyebaran kebutuhan yang sangat tinggi diluar Jawa. Sangat beragamnya permintaan dan bervariasinya calon perencana yang akan dilatih di diklat JFP ini mengakibatkan perlunya pembenahan dan penataan terhadap kualifikasi calon peserta dan pembentukan beberapa kelas (reguler dan mandiri) yang akan diberikan. Kurikulum JFP tahun 2006 yang diberikan saat ini sudah sangat memadai dengan beberapa catatan perlunya pembenahan terhadap beberapa mata diklat mata diklat yang harus mendapat penyesuaian. Saat ini pusbindiklatren bappenas dengan tujuh perguruan tinggi pelaksanaan diklat JFP sedang melakukan evaluasi kurikulum, GBRP & SAP Mata kuliah diklat untuk kurikulum 2011.


Sumber :
Ir. Binsar PHN, MSP
Staf Pengajar dan Peneliti
Prodi {WK-SAPPK-ITB
(Pelaksana Diklat JFP ITB)
Majalah Simpul Perencana
Volume 15 Tahun 7 Desember 2010