Sejarah Sumpah Pemuda dan Museum Sumpah Pemuda

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPI, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah pemuda keturunan arab.

Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat, yaitu :

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman ang dimainkan dengan biola (dimainkan dengan biola saja atas saran Sugondo kepada Supratman). Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia, berbunyi :

PERTAMA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

KEDOEA
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.

KETIGA
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.






Di Gedung Sekretariat PPI di Jalan Kramat Raya 106, tempat diputuskannya rencana Kongres Pemuda Kedua saat ini dijadikan Museum Sumpah Pemuda.

Museum Sumpah Pemuda

Museum Sumpah Pemuda adalah museum khusus sejarah yang berada dibawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Museum Sumpah Pemuda merupakan satu-satunya museum yang mengumpulkan dan menyajikan berbagai aspek yang berhubungan dengan sejarah sumpah pemuda

Terwujudnya pelestarian dan komunikasi tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah Sumpah Pemuda untuk kepentingan pembinaan generasi muda.
  1. Pengumpulan, perawatan, dan pengawetan benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda;
  2. Pendokumentasian dan penelitian ilmiah yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda;
  3. Pengenalan dan penyebarluasan hasil-hasil penelitian ilmiah yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda;
  4. Penyajian benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda;
  5. Pemanfaatan museum sebagai lembaga pendidikan non fomal;
  6. Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap museum;
  7. Pembangkit rasa bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Sejarah Singkat Museum Sumpah Pemuda

Museum Sumpah Pemuda terletak di Jalan Kramat Raya No. 106, Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Madya Jakarta Pusat. Museum Sumpah Pemuda dikenal juga dengan nama Gedung Kramat 106 atau Gedung Sumpah Pemuda. Luas gedung Museum Sumpah Pemuda adalah 550 m2, terdiri atas bangunan utama seluas 460 m2 dan paviliun seluas 90 m2. Bangunan berdiri di atas tanah seluas 1.482 m2

Gagasan mendirikan Museum Sumpah Pemuda berasal dari pelaku Kongres Pemuda Kedua. Mereka berpendapat bahwa nilai-nilai persatuan yang dirintis generasi 28 harus diwariskan kepada generasi yang lebih muda. Untuk itu, pada tanggal 15 Oktober 1968, Prof. Mr. Soenario berkirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, untuk meminta perhatian dan pembinaan terhadap Gedung Kramat 106 agar nilai sejarah yang terkandung di dalamnya terpelihara. Gubernur DKI Jakarta melalui SK Gubernur No. cb.11/1/12/72 jo Monumenten Ordonantie Staatsblad No. 238 tahun 1931, tanggal 10 Januari 1972, kemudian menetapkan Gedung Kramat 106 sebagai benda cagar budaya).

Sebagai tindak lanjut SK Gubernur tersebut, Gedung Kramat 106 dipugar Pemda DKI Jakarta pada 3 April 1973. Pemugaran selesai 20 Mei 1973. Gedung Kramat 106 kemudian dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda. Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973. Pada 20 Mei 1974 Gedung Sumpah Pemuda kembali diresmikan oleh Presiden RI, Soeharto.

Pada 16 Agustus 1979, Gedung Sumpah Pemuda diserahkan Pemda DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pengelolaannya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olah Raga. Menurut rencana, Gedung Sumpah Pemuda akan dijadikan Pusat Informasi Kegiatan Kepemudaan dibawah Kantor Menteri Muda Urusan Pemuda (kemudian menjadi Menteri Muda Urusan Pemuda dan Olah Raga). Pada tanggal 28 Oktober 1980 diadakan pembukaan selubung papan nama Gedung Sumpah Pemuda oleh Dra. Jos Masdani, atas permintaan Menteri Muda Urusan Pemuda Mayor TNI AU dr. Abdul Gafur, sebagai tanda penyerahan pengelolaan gedung dari Pemda DKI Jakarta kepada Departemen P dan K. Tiga tahun kemudian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 029/O/1983, tanggal 7 Februari 1983, yang menyatakan bahwa Gedung Sumpah Pemuda dijadikan UPT dilingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan nama Museum Sumpah Pemuda.

Bersamaan dengan dibentuknya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid pada tahun 1999, pengelolaan Museum Sumpah Pemuda diserahkan dari Departemen Pendidikan Nasional kepada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Penyerahan dilakukan Menteri Pendidikan Nasional, Dr. Yahya A. Muhaimin, kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Drs. I Gede Ardhika. Seiring dengan perubahan struktur pemerintahan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dijadikan Kementerian Negara. Untuk menampung unit-unit yang tidak tertampung dalam Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Pengelolaan Museum Sumpah Pemuda yang semula ada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata kemudian diserahkan kepada Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Bersamaan dengan reorganisasi di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, pengelolaan Museum Sumpah Pemuda kembali dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Sejarah Gedung

Menurut catatan yang ada, Museum Sumpah Pemuda pada awalnya adalah rumah tinggal milik Sie Kong Liang. Gedung didirikan pada permulaan abad ke-20. Sejak 1908 Gedung Kramat disewa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool) sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu dikenal dengan nama Commensalen Huis. Mahasiswa yang pernah tinggal adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana

Sejak tahun 1927 Gedung Kramat 106 digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106 untuk membicarakan format perjuangan dengan para penghuni Gedung Kramat 106. Di gedung ini pernah diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, PPPI. Gedung ini juga menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI. Mengingat digunakan berbagai organisasi, maka sejak tahun 1927 Gedung Kramat 106 yang semula bernama Langen Siswo diberi nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).

Pada 15 Agustus 1928, di gedung ini diputuskan akan diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua pada Oktober 1928. Soegondo Djojopuspito, ketua PPPI, terpilih sebagai ketua kongres. Kalau pada Kongres Pemuda Pertama telah berhasil diselesaikan perbedaan-perbedaan sempit berdasarkan kedaerahan dan tercipta persatuan bangsa Indonesia, Kongres Pemuda Kedua diharapkan akan menghasilkan keputusan yang lebih maju. Di gedung ini memang dihasilkan keputusan yang lebih maju, yang kemudian dikenal sebagai sumpah pemuda.

Setelah peristiwa Sumpah Pemuda banyak penghuninya yang meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw karena sudah lulus belajar. Setelah para pelajar tidak melanjutkan sewanya pada tahun 1934, gedung kemudian disewakan kepada Pang Tjem Jam selama tahun 1934 – 1937. Pang Tjem Jam menggunakan gedung itu sebagai rumah tinggal. Kemudian pada tahun 1937 – 1951 gedung ini disewa Loh Jing Tjoe yang menggunakannya sebagai toko bunga (1937-1948) dan hotel Hersia (1948-1951). Pada tahun 1951 – 1970, Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran dan penampungan karyawannya.

Tentang Pemuda

Sepanjang sejarah Indonesia, pengertian pemuda berubah dari masa ke masa. Pada masa awal pergerakan nasional, pemuda diartikan kalangan terpelajar, baik para pelajar sekolah menengah, maupun pelajar sekolah tinggi yang mendapat pendidikan Barat, tinggal di kota, dan mengenyam kebudayaan Barat melalui pendidikan. Mereka datang dari kalangan priyayi, menengah dan rendahan. Mereka inilah yang menjadi motor penggerak tumbuhnya pergerakan nasional. Selain bergerak melalui organisasi kepemudaan, para pemuda juga bergerak melalui partai politik. PNI dan PSII, dua partai politik yang monumental dalam sejarah pergerakan nasional, didirikan dan dikelola oleh para pemuda.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, kapan sejarah pergerakan pemuda di Indonesia dimulai? Budi Utomo, organisasi pergerakan nasional pertama, yang didirikan tanggal 20 Mei 1908 adalah organisasi yang didirikan oleh para pemuda. Soetomo dan para pendiri Budi Utomo yang lain masih sekolah di STOVIA. Akan tetapi, tanggal 20 Mei 1908 tidak bisa dijadikan titik awal pergerakan pemuda. Mohamad Tabrani, Ketua Kongres Pemuda Pertama, dalam pidatonya, “Sejarah Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia, mengatakan :

“…kalau bagi Kaum Tua Budi Utomo menjadi titik tolaknya (20 mei 1908), yang kemudian diakui sebagai hari kebangkitan nasional, maka bagi Kaum Muda perlambang kebangkitan nasionalnya bertitik tolak pada Tri Koro Dharmo pada tanggal 7 Maret 1915.”

Hal senada diungkapkan oleh Iwa Kusumasumantri, mantan anggota dan pengurus Perhimpunan Indonesia. Iwa Kusumasumantri (1963 : 45) menulis :

“…lahirlah untuk pertama kalinja pergerakan pemuda dengan nama ‘Tri Koro Dharmo’ pada tanggal 15 Maret 1915.”

Keberadaan Tri Koro Dharmo sebagai organisasi pemuda pertama juga dibenarkan oleh A. K. Pringgodigdo (1990 : 24), Surjomihardjo (1979 : 55), Nugroho Notosusanto (1990 : 190).

Hasil monumental dari pergerakan pemuda tahun 1920-an adalah Sumpah pemuda yang merupakan putusan Kongres Pemuda Kedua, 27 - 28 Oktober 1928.

Sugondo dan Sumpah Pemuda
Sugondo Djojopuspito lahir di Tuban, 22 Februari 1904 anak seorang Mantri Juru Tulis Desa di kota Tuban. Pendidikan HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) tahun 1911-1918 di kota Tuban. Tahun 1919 pindah ke Surabaya untuk meneruskan ke MULO (Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun) tahun 1919-1921. Selama di Surabaya mondok bersama Soekarno di rumah HOS Cokroaminoto. Setelah lulus MULO, tahun 1922 melanjutkan sekolah ke AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B - paspal - 3 tahun) di Yogyakarta tahun 1922-1924.

Setelah lulus AMS tahun 1925 melanjutkan kuliah ke Batavia (Jakarta) pada RHS (Rechts Hooge School - didirikan tahun 1924 - Sekolah Tinggi Hukum - Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekarang). Selama mahasiswa hidup sulit hanya punya satu baju, yang harus dicuci dulu kalau mau kuliah. Kuliah di RHS hanya mencapai tingkat P (propadeus - sekarang D2).

Pada waktu semua orang ikut dalam organisasi pemuda, pemuda Sugondo masuk dalam PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - dan tidak masuk dalam Jong Java). Pada tahun 1926 saat Konggres Pemuda I, Sugondo ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada Konggres Pemuda II 1928, maka Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan Ir. Sukarno (yang pernah serumah di Surabaya) di Bandung. Mengapa Sugondo terpilih menjadi Ketua Konggres, karena beliau adalah anggota PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - wadah pemuda independen pada waktu itu dan bukan berdasarkan kesukuan.

Saat itu Mohammad Yamin adalah salah satu kandidat lain menjadi ketua, tetapi dia berasal dari Yong Sumatra (kesukuan), sehingga diangkat menjadi Sekretaris. Perlu diketahui bahwa Moh. Yamin adalah Sekretaris dan juga salah satu peserta yang mahir berbahasa Indonesia (sastrawan), sehingga hal-hal yang perlu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan (notulen ditulis dalam bahasa Belanda).

Konggres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta menghasilkan Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu, di mana Para Pemuda setuju dengan Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia. Selain kesepakatan ini, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik meminta ijin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya ciptannya. Karena Konggres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya Konggres dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka Sugondo secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas diperdengarkan (dengan biola). Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR Supratman memainkan biola pada waktu itu.

Sumpah pemuda keturunan arab

Latar Belakang

Pemerintah Kolonial Belanda membagi 3 strata masyarakat di Nusantara. Kelas paling atas adalah warga kulit putih (Eropa, Amerika, Jepang dll), kelas dua warga Timur Asing (Arab, India, Cina dll) dan kelas tiga adalah pribumi Indonesia. Orang-orang Arab yang hijrah ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramauth, Yaman Selatan. Orang-orang arab yang datang ke Nusantara itu seluruhnya laki-laki dan karena kendala jarak serta karena tradisi arab (wanita tidak ikut bepergian) maka mereka datang tanpa membawa istri atau saudara wanita. Orang-orang arab itu menikah dengan wanita pribumi. Jika orang Eropa menyebut pribumi dengan istilah inlander (bangsa kuli) keturunan Arab menyebut pribumi dengan istilah ahwal, yang artinya saudara ibu. Sebab memang seluruh keturunan Arab pasti ibunya pribumi.

Pada 1 Agustus 1934, Harian Matahari Semarang memuat tulisan AR Baswedan tentang orang-orang Arab. AR Baswedan adalah peranakan Arab asal Ampel Surabaya. Dalam artikel itu terpampang foto AR Baswedan mengenakan blangkon. Dia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Artikel yang berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya” berisi anjuran tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air. Artikel itu juga memuat penjelasan Baswedan tentang bagaimana sikap nasionalisme yang dianjurkan pada kaumnya. Pokok-pokok pikiran itu antara lainb Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia; Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam; Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia; Perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan; Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab; Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia. Artikel AR Baswedan ini dipilih oleh Majalah Tempo edisi khusus Seabad kebangkitan Nasional (Mei 2008) sebagai salah satu dari 100 tulisan paling berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia.

Artikel yang menggemparkan itu ditulis AR Baswedan saat dia baru berusia 26 tahun. Karena artikel itu, warga keturunan Arab sempat berang padanya karena memunculkan gagasan merendahkan diri di mata orang-orang Arab di masa itu. Bukan hanya itu, melalui harian Matahari AR Baswedan secara rutin melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya integrasi, persatuan orang Arab di Indonesia, untuk bersama-sama bangsa Indonesia yang lain memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia. Timbulnya ide mendirikan Partai Arab Indonesia berkaitan erat dengan pengajuan prinsip tanah air Indonesia bagi kaum peranakan Arab. Ide mendirikan Partai Arab Indonesia dengan pengakuannya tentang tanah air bagi peranakan Arab dicetuskan dan dikembangkan serta juga diperjuangkan. AR Baswedan juga aktif menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Untuk itu, AR Baswedan berkeliling ke berbagai kota untuk berpidato dan menyebarkan pandangannya pada kalangan keturunan Arab.

Konferensi Pemuda Keturunan Arab

Pada 4-5 Oktober 1934 para pemuda keturunan Arab dari berbagai kota di Nusantara berkumpul di Semarang. Pada waktu itu masyarakat Arab seluruh Indonesia gempar karena adanya Konferensi Peranakan Arab di Semarang ini. Dalam konferensi PAI di Semarang AR Baswedan pertama-tama mengajukan pertanyaan di mana tanah airnya. Para pemuda yang menghadiri kongres itu mempunyai cita-cita bahwa bangsa Arab Indonesia harus disatukan untuk kemudian berintegrasi penuh ke dalam bangsa Indonesia. Dalam konferensi itu parap pemuda Indonesia keturunan Arab membuat sumpah: "Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab.

Menurut AR Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah. Sebelumnya kongres itu seluruh keturunan Arab -biarpun mereka yang cerdas dan terkemuka- tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Mereka berpendapat bahwa tanah airnya adalah di negeri Arab bukan Indonesia. AR Baswedan menjadi pelopor bangkitnya nasionalisme kaum Arab yang awalnya enggan mengakui Indonesia sebagai tanah air. Sejak 4 Oktober 1934 itu keturunan Arab bersatu bersama pergerakan nasional dan meninggalkan identitas ke-Araban, lalu berubah identitas dari semangat kearaban menjadi semangat keIndonesiaan.

Sebuah pengakuan yang jelas bagi keturunan Arab bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Ketegasan ini pada awalnya banyak yang menentang. Namun perlahan seruan Kongres ini menggema. Banyak peranakan Arab yang mendukung dan mengikuti pergerakan dan gagasan ini. Gagasan sangat berjasa melahirkan kesadaran Indonesia sebagai tanah air bagi orang Arab. Peranakan Arab pada akhirnya diakui sebagai saudara setanah air. Sejarah mencatat pendirian PAI ini selanjutnya memberi efek besar bagi komunitas Arab di Indonesia. Banyak tokoh-tokohnya ikut berjuang saat itu duduk dalam pemerintahan dan aktif dalam masyarakat Indonesia. Anak dan keturunannya di masa sekarang juga tidak sedikit yang berkiprah sebagai tokoh nasional.

Sumpah Pemuda Keturunan Arab ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda keturunan Arab. Hasil konferensi itu adalah dibentuknya Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia. Dalam konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua), Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf Assegaf (Bendahara), Abdurrahim Argubi (Komisaris). Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali Assegaf, Ali Basyaib dll.

Abdurrahman Baswedan dan PAI
http://jurnalnasional.com
by : Rusdy Setiawan Putra
PAI secara tegas memberikan ajaran bahwa Indonesia adalah tanah tumpah darahnya.

SEDIKIT orang yang tahu, bahwa di zaman pergerakan dan masa setelah Indonesia merdeka, ada seorang pria keturunan arab yang terlibat secara langsung dalam pergulatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Pria itu bernama Adurrahman Baswedan, kelahiran Bangil, Jawa Timur, 18 September 1908.

Baswedan memang keturunan Arab. Karakternya pun khas. Sebagai manusia yang dilahirkan di era pergerakan, dia sering "meledak-ledak" dan semangatnya pun seperti terus bergolak. Pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah, Ampel, Surabaya dan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Baswedan adalah seorang jurnalis terkemuka pada zamannya, dalam memainkan peranannya. Sebagai seorang jurnalis dan politikus, pandangannya sangat luas dalam memainkan perannya di zaman pergerakan. Baswedan merupakan sosok unik yang pernah ada dalam perjalanan sejarah Indonesia yang muncul di antara berbagai persoalan warga keturunan Arab.

Ketika berusia 17 tahun, pada 1925, Baswedan tampil sebagai mubaligh Muhammdiyah. Ia pun tercatat sebagai anggota Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi pemuda Islam Indonesia terpelajar. Salah satu peran yang diakui memiliki pengaruh dalam arah perubahan sejarah bangsa Indonesia adalah ketika Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) pada 4 Oktober 1934. PAI secara tegas memberikan ajaran bagi para anggotanya bahwa Indonesia adalah tanah tumpah darahnya.

Sebagai seorang pendobrak pada masanya, Baswedan menyadari penyebaran gagasan yang efektif dapat dilakukan melalui surat kabar, baik majalah maupun koran. Sejak muda Baswedan sudah memiliki keyakinan dan pendirian, bahwa tempatnya bukan di mana-mana kecuali di bumi Indonesia ini. Dan dia merasa Indonesia tempat dia dilahirkan; tempat dia hidup, dan Indonesia pula tempatnya berpulang. Karena itu, semangat hidupnya selalu diarahkan kepada perjuangan nasionalisme Indonesia.

Tanggal 1 Agustus 1934, harian Matahari yang terbit di Semarang memuat tulisan Baswedan tentang nasionalisme orang-orang peranakan Arab. Ia mengimbau warga keturunan Arab untuk bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. ''Di mana saya lahir, di situlah tanah airku,'' katanya. Baswedan memang peranakan Arab, meskipun logatnya sangat kental Jawa, bila berbicara. Pada bulan Oktober 1934, setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang dan menggagas didirikannya Partai Arab Indonesia (PAI), dan Baswedan diangkat sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik.

Tahun 1945, kemerdekaan Indonesia di kumandangankan, Baswedan mendapat tempat sebagai Ketua Pusat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Karena masyarakat telah melihat sumbangsih yang diberikannya ketika masih dalam alam penjajahan. Pada 1946, Baswedan ditunjuk sebagai Menteri Muda Penerangan. Jabatan tersebut masuk dalam jajaran kabinet Syahrir ke-3 dari Partai Masyumi. Namun, belum sempat melakukan apa-apa, kabinet Syahrir telah bubar.

Sekalipun demikian, Baswedan kembali diangkat sebagai anggota misi diplomatik RI ke Timur Tengah tahun 1947. Misi ini untuk menggalang konsolidasi dan mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara Timur Tengah. Sebagai anggota misi ini di bawah pimpinan Haji Agus Salim, Baswedan berhasil menerobos blokade pertahanan udara Belanda.

Dalam usia 78 tahun, pada Maret 1986, di rumahnya di Jalan Taman Yuwono 19, Yogyakarta, Abdurrahman Baswedan mengembuskan napas terakhir. Seperti pernah diucapkannya di Indonesia pula tempat ia berpulang menghadap Sang Khalik.

Tahukah Anda?

Kongres Pemuda Kedua menghabiskan biaya f 250 atau setara gaji satu bulan pegawai Pemerintah Hindia-Belanda lulusan Stovia atau Sekolah Hakim. Uang itu diperoleh dari sumbangan organisasi peserta Kongres Pemuda Kedua, sumbangan perorangan yang tidak mengikat, dan hasil usaha panitia. Uang itu digunakan untuk kepentingan sidang, salah satu diantaranya adalah menyewa gedung bioskop "Oost-Java Bioscoop" untuk sidang kedua. Akomodasi peserta ditanggung masing-masing!

Museum Sumpah Pemuda adalah bekas pondokan Mahasiswa di mana pernah tinggal Assaat Datuk Muda, pejabat presiden Republik Indonesia semasa RIS. Di gedung yang dikenal dengan nama Indonesische Clubgebouw (Wisma Indonesia) pernah tinggal pula Muhammad Yamin, dikemudian hari menjabat berbagai jabatan seperti menteri kehakiman, menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, ketua dewan perancang nasional; Amir Sjarifudin, menteri pertahanan dan kemudian menjdai perdana menteri; dan Abu Hanifah, ketua fraksi Masyumi di Parlemen, menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, wakil perdana menteri. Semasa tinggal di Indonesische Clubgebouw, Yamin menerjemahkan karya Rabinranath Tagore, "Huis en Wereld", dan karya William Shakespeare, "The Servant of The Venice".


Lihat juga Lagu Indonesia Raya
Sumber : Wikipedia dan sumber internet lainnya