Nyamuk Demam Berdarah Tidak Buta Warna

Aneh tapi nyata. Nyamuk Aedes Aegypti yang menyebakan Demam Berdarah Dengue (DBD) ternyata TIDAK BUTA WARNA dan TIDAK menyukai warna terang. Dia lebih menyukai warna gelap seperti hitam, coklat, abu-abu, dll. Percaya ga percaya, coba baca tulisan Hermawan Some di bawah ini :


Nyamuk Demam Berdarah Dan Warna Bak Mandi

Saturday, 12 April 2008

Oleh: Hermawan Some , 30 - 11 - 2007


Sejak ditemukan pertama kali di Surabaya tahun 1968, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan serius di negeri ini. Hampir setiap tahun tercatat ada penderita DBD yang meninggal dunia. Tahun ini, jumlah penderita meningkat tajam, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Di beberapa daerah korban DBD yang meninggal sudah menembus tingkat kematian (case fatality rate/CFR) satu persen dari jumlah kasus yang terjadi. Tidak heran jika Menteri Kesehatan menyatakan DBD tahun ini sebagai Kejadian Luar Biasa Nasional (Kompas, 17 Pebruari, 2004).

Dari data Ditjen PMP dan PLP (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman) Depkes, sebenarnya bukan tahun ini saja kasus DBD dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Tahun 1973 DBD dinyatakan sebagai KLB dengan kasus 10.189 dan jumlah yang meninggal dunia 470 orang. Tahun 1977 dan 1978, kasus DBD juga dinyatakan sebagai KLB. Tahun 1977 tercatat 320 orang meninggal dari 7.826 kasus, tahun 1978 tercatat 6.963 kasus dan 384 meninggal. Tahun 1983 dan 1988, DBD juga dinyatakan sebagai KLB dengan korban meninggal dunia masing-masing 491 (dari 13.875 kasus) dan 1.527 (dari 47.573 kasus DBD).





Jika melihat data dari Ditjen PMP dan PLP Depkes tersebut, terlihat ada ledakan kasus DBD setiap 5 tahun sekali. Jika melihat fenomena tersebut maka ledakan kasus setiap 5 tahunan tersebut mestinya terjadi pada tahun 2003 atau 2004. Dan sekarang sudah menjadi kenyataan. Dalam tahun 2004 ini data di Depkes tercatat sudah 5 ribu kasus DBD (data tersebut belum dari seluruh daerah). Dan harus dicatat data itu baru data 2 bulan, padahal puncak DBD bisa terjadi sampai bulan Mei. Seharusnya hal tersebut sudah diantisipasi oleh pemerintah dan setiap tahun sudah ada anggaran rutin untuk pemberantasan DBD.

Sejak kasus pertama DBD ditemukan di Kairo dan Alexandria tahun 1779, ahli virologi belum berhasil menemukan obat antiviral yang efektif. Sampai saat ini bagaimana mekanisme baik tentang patofisiologi, hemodinamika maupun biokimia DBD belum diketahui dengan pasti. Sehingga masih dibutuhkan waktu lama untuk bisa ditemukan obat atau vaksin DBD. Selama ini pengobatan yang dilakukan selama ini hanya bersifat simtomatik. Penderita DBD ringan diberi aspirin. Sedangkan jika penderita sudah mendekati mimisan akan diberikan obat dari golongan kortikosteroid dosis tinggi. Obat ini tidak untuk mengatasi virus dengue penyebab DBD tetapi hanya berfungsi untuk menahan laju kekentalan darah agar tidak terlampau tinggi dan membuat psien tidak terlalu gelisah.

Penyakit DBD yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan serangga. Penyebab penularannya (vektor) virus dengue ke manusia adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Dari dua jenis nyamuk ini, Aedes aegypti yang lebih berperan dalam penularan penyakit DBD, karena Aedes albopictus lebih sering ditemukan di kebun-kebun. Kedua jenis nyamuk ini lebih suka mengisap darah manusia daripada hewan (bersifat antrofilik).

Dari beberapa kajian diketahui ada 4 tipe virus dengue di Indonesia. Seorang yang sudah tertular virus dengue tipe I tidak kebal terhadap serangan dengue tipe lainnya. Masa inkubasi antara masuknya virus ke dalam tubuh manusia sampai terjadinya penyakit yaitu antara 3-15 hari. Penularan virus dengue sangat tergantung pada Aedes aegypti sebagai vektornya. Virusnya tidak akan menular tanpa bantuan Aedes aegypti. Penularan virus dengue dari penderita DBD kepada orang yang sehat melalui air liur Aedes aegypti yang masuk ketika nyamuk ini mengisap darah (menggigit). Dengan bahasa sederhana nyamuk Aedes aegypti merupakan kunci penularan DBD. Mengingat obat DBD belum ada, maka upaya untuk mencegah penularan DBD adalah dengan mengendalikan atau memberantas Aedes aegypti. Untuk mengetahui upaya apa yang efektif, maka perlu sekali memahami perilaku atau sifat-sifat dari nyamuk Aedes aegypti.

Aedes aegypti ditemukan pertama kali oleh Linnaeus di Mesir pada tahun 1762. Nyamuk ini bersifat kosmopolita yang tersebar di daerah beriklim tropis dan subtropis. Nyamuk ditemukan di daerah sampai ketinggian 1000 m dari permukaan laut. Di Indonesia Aedes aegypti pertama kali ditemukan di Makasar pada tahun 1860 dan diketahui sudah tersebar merata di seluruh Indonesia tahun 1954.

Aedes aegypti termasuk serangga yang mengalami metamofosa sempurna, yaitu mulai dari telur, larva, pupa sampai dewasa. Aedes aegypti meletakkan telurnya pada air tenang dan lebih menyukai air yang bersih. Sekali bertelur nyamuk betina akan mengeluarkan 100-200 butir yang akan mengapung di atas permukaa air. Pada suhu 30 derajat Celsius, telur akan menetas setelah 1-3 hari dan pada suhu 16 derajat Celsius akan menetas dalam waktu 7 hari. Setelah menetas, akan berubah menjadi larva yang dapat dilihat jelas dengan mata karena mengantung di permukaan air. Setelah 9 - 10 hari pada fase larva, selanjutnya akan memasuki fase pupa selama 2 - 3 hari. Baru setelah itu menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk betina usianya lebih panjang dibandingkan nyamuk jantan. Nyamuk betina bisa mencapai usia 1 bulan, sedangkan yang jantan hanya berusia satu minggu. Serangga ini aktif pada siang hari karena dipengaruhi oleh alat indera yang dimiliki. Dari beberapa kajian diketahui puncak aktifnya nyamuk ini sekitar pukul 08.00 sampai 13.00 dan antara pukul 15.00 sampai 17.00. Di luar waktu tersebut, Aedes aegypti memanfaatkan untuk berisitrahat.

Tempat yang lebih disukai Aedes aegypti untuk beristirahatan adalah di dalam rumah, yaitu yang mengantung dan memiliki permukaan licin, seperti pakaian yang digantung, gorden atau alat-alat rumah tangga. Nyamuk ini lebih menyukai tempat yang gelap, berbau dan lembab. Sedangkan Aedes albopictus lebih memilih beristirahat di luar rumah, seperti pedu atau rumput-rumputan dekat tempat perindukan yang tidak kena sinar matahari. Tempat perindukan yang sering dipilih nyamuk Aedes aegypti adalah kawasan yang padat dengan sanitasi yang kurang memadai, terutama di genangan air dalam rumah, seperti pot, vas bunga, bak mandi atau tempat penyimpanan air lainnya seperti tempayan, drum atau ember plastik.

Aedes aegypti juga diketahui meletakkan telurnya di genangan-genangan air hujan yang beserakah di dalam atau sekitar rumah, seperti kaleng, botol, ban bekas, talang air atau aki bekas. Aedes aegypti memiliki organ kemoreseptor dan mekanoreseptor, sehingga dapat mengetahui tempat untuk meletakkan telur, tempat makanan, mengenal sesama jenis, membedakan musuh (pemangsa) atau menemukan lawan jenis. Dengan organ fotoreseptor yang ada pada mata majemuknya (ommatidium) Aedes aegypti dapat membedakan warna.

Dari beberapa kajian diketahui bahwa nyamuk Aedes aegypti, terutama yang betina lebih menyukai benda atau obyek yang berwarna gelap daripada yang terang, baik untuk beristirahat atau bertelur (ovoposisi) nyamuk betina.

Setelah mengetahui perilaku dan sifat-sifat nyamuk Aedes aegypti, maka seharusnya dapat diketahui langkah-langkah efektif untuk mencegah penularan atau penyebaran DBD. Pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti adalah cara yang murah dan efektif untuk mencegah penularan dan penyebaran DBD. Ada banyak cara yang dapat dilakukan, misalnya memberantas sarang nyamuk, membasmi jentik-jentik (larva) untuk memutuskan daur hidupnya atau membasmi nyamuk dewasa. Caranya bisa dilakukan dengan cara kimiawi, fisik dan biologis.

Pemberantasan secara dengan bahan kimia dapat dilakukan dengan memakai larutan lation 4% dengan cara pengasapan untuk membunuh nyamuk dewasa atau dengan abate temefos 1% yang berbentuk granula pasir untuk membasmi larvanya. Cara kimiawi ini yang lebih sering dipakai. Pemakaian bahan kimia ini cukup efektif, namun harus diwaspadai karena pasti ada dampak negatifnya. Bahan kimia tersebut dapat berdampak langsung terhadap nyamuk Aedes aegypti, misalnya membuat nyamuk kebal. Atau juga dapat berdampak terhadap ekosistem secara keseluruhan.

Pada tahun 1990, Martono, dosen Entomologi di Jurusan Biologi FMIPA Univesitas Airlangga mengutarakan sebuah penelitian di Jawa Barat tentang dampak pemakaian bahan kimia untuk pengasapan dalam pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Hasilnya bahan kimia tersebut justru menyebabkan kayu kerangka rumah mudah lapuk karena terserang rayap. Pengasapan tersebut ternyata tidak hanya membunuh nyamuk Aedes aegypti, tetapi juga menyebabkan jamur yang mencegah perkembangbiakan rayap musnah. Namun hasil penelitian tersebut sepertinya tidak pernah dipublikasikan karena penulis pun kesulitan mencari laporan penelitian tersebut.

Sebenarnya, selain dengan bahan kimia ada cara lain yang paling murah dan efektif untuk mengendalikan populasi Aedes aegypti adalah dengan memberantas sarang nyamuk. Apa saja yang bisa menjadi sarang atau tempat perindukan yang harus dihilangkan, sehingga tidak ada tempat lagi bagi Aedes aegypti untuk bertelur atau bersarang. Cara ini bisa dilakukan siapa saja. Namun cara ini akan efektif jika dilakukan setiap saat tidak hanya pada musim hujan atau ketika sudah ada kasus DBD. Menutup tempat penampungan air juga dapat efektif mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti karena akan mencegah nyamuk betina bertelur.

Cara lain adalah dengan memutuskan daur hidup nyamuk Aedes aegypti. Tindakan yang dilakukan adalah secara rutin mengganti atau menguras air pada tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat bertelur (perindukan) seperti tempayan, bak mandi atau tempat penampungan air lainnya. Mengingat fase telur (1-3 hari) dan fase larva (9-10 hari), maka kegiatan menguras atau menganti air untuk memutuskan daur hidup nyamuk Aedes aegypti sehingga tidak menjadi nyamuk dewasa akan efektif jika dilakukan setiap 8-10 hari.

Seperti sudah diutarakan di atas, bak mandi adalah salah satu tempat yang disukai Aedes aegypti untuk meletakkan telurnya dan nyamuk ini juga lebih memilih warna hitam ketimbang warna cerah. Dari dua hal tersebut, pada tahun 1992 penulis bersama beberapa teman di Jurusan Biologi FMIPA Univesitas Airlangga melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh warna dasar bak mandi terhadap kemampuan reproduksi nyamuk Aedes aegypti. Hasilnya, nyamuk Aedes aegypti betina lebih suka meletakkan telurnya pada bak mandi yang berwarna hitam daripada yang berwana putih atau biru muda. Ini artinya jika warna dasar bak mandi atau kamar mandi dicat warna cerah (bukan gelap), seperti hitam, coklat, merah tua atau biru tua) tidak akan menarik perhatian atau minimal mengurangi perhatian nyamuk Aedes aegypti betina untuk bertelur.

http://strenkali.org/