Lingga Negeri Bunda Tanah Melayu

Lingga Negeri Bunda Tanah Melayu begitulah tag-line untuk Kabupaten Lingga yang beribukota di DAIK. Tagline yang didengungkan oleh Prof. Yusmar Yusuf di tahun 1999 ini melekat samai sekarang. Ketika itu istilah ini muncul dalam kegiatan acara Perkampungan Penulis Melayu Serumpun yang dilaksanakan di Daik Lingga. Lebih tepatnya tagline tersebut adalah Lingga Negeri Bunda Tanah Melayu. 10 tahun kemudian tagline tersebut terjadi penambahan menjadi Daik Lingga sebagai Negeri Bunda Tanah Melayu yang Bertamadun Melayu. Lingga dahulunya merupakan sebuah kerajaan Melayu yang sangat besar dan menjadi induk dari perkembangan budaya Melayu ke depannya.

Daik Lingga, itulah tempat nenek moyangku bertempat tinggal dahulu kala. Turunannya pun menetap di sekitar pulau Lingga dan Pulau Singkep seperti Daeng Putera, Daeng Muhammad, Daeng Masiki, Daeng Usman, Daeng Basrah (Daeng H.M. Saleh Chalidi) dan seterusnya. Sayangnya perunut silsilah keluarga ini telah dipanggil Allah SWT (penggagas buku Butang Emas, Warisan Budaya Melayu Kepulauan Riau).

*****

Tanggal 9 Desember 2011, bersama Prof. Yusmar Yusuf, dan para pekerja seni Griven H. Putera, Samson Rambah Pasir serta Kamarulzaman, aku berangkat ke Daik Lingga yang berarti aku pulang kampung untuk yang pertama kalinya. Aku yang terlahir Natuna di sebuah pulau bernama Terempa di ujung utara Propinsi Riau (sekarang Propinsi Kepulauan Riau), tidak pernah menjejakkan kaki ke Daik Lingga. Keturunan bapakku banyak tinggal di Dabo Singkep yang berbeda pulau dengan Daik Lingga.

Dari Pekanbaru naik pesawat ke Batam yang dilanjutkan dengan naik speedboat ke Kota Daik memakan waktu sekitar 4,5 jam. Perjalanan kali ini mengambil rute melalui pulau-pulau kecil di sekitar 4 pulau besar yaitu pulau Temiang, Pulau Sebangka dan pulau Bakung serta Pulau Lingga itu sendiri. Hanya pulau Singkep yang tidak dilalui oleh rute ini. Maka, pemandangan indah terpampang jelas di depan mata. Inilah keindahan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada Kabupaten Lingga. Pulau-pulau yang berjumlah 531 buah dan telah dihuni sebanyak 92 buah pulau. Sisanya adalah pulau-pulau yang tidak berpenghuni atau hanya disinggahi nelayan secara tidak tetap.

Dalam perjalanan aku sempat tertidur, pak Profesor membangunkanku dan mengingatkan agar segera memotret keindahan alam ini. Alam Lingga yang begitu indah menjadi salah satu alasan utama bagi pak Profesor untuk menyebut Kabupaten Lingga sebagai "Lingga Bunda Tanah Melayu". Alasan yang paling mendasar adalah tentang sejarah Melayu itu sendiri dimana Lingga menjadi awal pusat pemerintahan Melayu walau tidak diketahui oleh banyak orang.





Dengan dijadikannya Lingga sebagai Kabupaten baru yang disahkan melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2003, tentulah kita tetap wajib memelihara kawasan sekitar cagar budaya. Peninggalan sultan-sultan menurut catatan tertulis dan bekas reruntuhan seperti Istana Pangkalan Kenanga, Istana Robat, Istana Keraton, Istana Damnah, Istana 44 bilik, dan juga benteng-benteng sebagai tulang punggung pertahanan Kerajaan Lingga (benteng pertahanan pulau Mepar, benteng Bukit Cening, benteng Pasir Panjang dan benteng Kuala Daik) serta makam-makam bersejarah adalah bukti sejarah masa lampau yang melambangkan kejayaan dan kebanggaan khususnya bagi Kabupaten Lingga sebagai eks wilayah Kerajaan Lingga yang dikenal seantero dunia sebagai "Lingga Negeri Bunda Tanah Melayu". Tapak-tapak sejarah Kerajaan Lingga, karya bahasa dan sastra Melayu tetap kental dan melekat dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang tersirat dalam dua bait Madah Bunda Tanah Melayu berikut :
Gunung Daik bercabang tiga
Sudah terkenal ke serata dunia
Walaupun cabangnya tinggallah dua
Sejarahnya tak hilang dimakan masa

Di Daik adanya makam merah
Ia terletak di bukit yang gagah
Kalau dilihat tampaknya merah
Makam penuh memendam sejarah