KABUT ASAP DAN KEMARAU PANJANG SEBAGAI DAMPAK PEMBUKAAN LAHAN KELAPA SAWIT DI RIAU

Sawit itu merusak tanah, Jendral!!!

Seperti diketahui, perkebunan kelapa sawit Provinsi Riau secara nasional menempati posisi teratas di Indonesia seluas 2,2 juta hektare atau 25 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia. Kondisi ini disamping memberikan angin segar bagi kondisi perekonomian masyarakat Riau, di satu sisi juga memberikan kontribusi negative terhadap lingkungan. Terjadinya kasus kabut asap di Riau setiap tahunnya, salah satunya adalah kontribusi dari keberadaan kebun kelapa sawit di Propinsi Riau yang terus meluas.

Keberadaan perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan memiliki banyak sekali dampak buruk, berikut ini beberapa diantaranya:
  1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi
  2. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
  3. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
  4. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
  5. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
  6. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (Ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
  7. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
  8. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
  9. Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).

Dari banyaknya dampak buruk di atas, dua hal penting yang menjadi dampak negatif dan dirasakan oleh masyarakat Riau secara keseluruhan adalah terjadinya musim kemarau yang panjang sebagai akibat habisnya cadangan air karena diambil lebih banyak untuk perkebunan kelapa sawit di Riau yang sangat luas, serta upaya pembukaan lahan bagi lahan perkebunan baru dengan cara pembakaran.

Keberhasilan budidaya kelapa sawit pada umumnya ditentukan oleh lima faktor utama yaitu kesesuaian lahan, sarana produksi, manajemen, sumber daya manusia dan masalah sosial. Faktor kesesuaian lahan mencangkup kondisi tanah serta ketersediaan air. Kondisi tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah baik sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah. Konservasi tanah diperlukan untuk mencegah erosi, memperbaiki tanah yang rusak dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan. Sementara itu, konservasi air pada prinsipnya merupakan penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah se-efisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.

Berdasarkan PPKS (2006), ketersediaan air juga memegang peranan penting dalam produksi kelapa sawit. Kekeringan yang cukup lama biasanya menyebabkan terjadinya penurunan produksi yang nyata karena kekeringan menyebabkan tanaman menghasilkan lebih banyak bunga jantan. Selain itu, pengelolaan air (water management) merupakan kunci keberhasilan budidaya kelapa sawit khususnya di tanah gambut. Konservasi tanah dan air sangat penting dan semakin memerlukan perhatian dalam budidaya kelapa sawit. Kondisi tanah yang baik akan berpengaruh pada proses penyerapan air dan hara, respirasi akar serta memudahkan pemeliharaan tanaman dan panen. Menurut Arsyad (2006), setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan yang tidak seharusnya dijadikan lahan perkebunan semakin sulit terbendung. Lahan gambut yang memiliki fungsi sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, tak luput dari ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab. Di tengah besarnya ancaman bencana, mata publik harus diperlihatkan kepada fakta bahwa bahaya kerusakan lahan gambut akan sangat merugikan karena itu, tidaklah tepat jika perkebunan kelapa sawit dibiarkan beroperasi di lahan gambut. Mengubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit akan sangat mengancam keseimbangan ekosistem. Akan sangat banyak kerugian yang harus ditanggung jika lahan gambut itu rusak. Kerusakan lahan gambut umumnya disebabkan oleh beroperasinya perusahaan besar yang menyulapnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal, lahan gambut merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai pelindung dari terjadinya bencana tsunami (Aceh), habitat ribuan satwa langka dan dilindungi, kawasan resapan air yang mengatur ketersediaan sumber air sekitar dan penyimpan Karbon Dioksida (CO2). Di sisi lain, lahan gambut juga merupakan kawasan yang jika terbakar akan sangat sulit untuk dipadamkan. Dampak dari keberadaan perkebunan kelapa sawit hingga sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat, dengan terjadinya banjir yang sebelum adanya perkebunan tidak pernah terjadi.

Pengelolaan air yang dilakukan oleh perusahaan mapun masyarakat adalah dengan membuat parit gajah (parit/selokan besar) untuk menurunkan elevasi air di lahan sehingga dapat ditanami sawit. Alasan lainnya pembuatan parit gajah ini adalah untuk mencegah gajah atau binatang lain memasuki lahan perkebunan sawit tersebut. Akibatnya adalah lahan menjadi kering, CO2 keluar dari bagian bawah tanah, lahan mudah terbakar, hilangnya habitat di kawasan tersebut, dan hilangnya daya serap air.


Parit Gajah
Gambar : http://theglobejournal.com

Adji Darsoyo, selaku Communication & Fundraising Coordinator PAN Eco – Yayasan Ekosistem Lestari menyebutkan, lahan gambut juga berfungsi sebagai buffer atau pelindung dari masuknya gelombang tsunami ke darat, berdasarkan peta satelit, di salah satu kawasan yang sudah menjadi perkebunan kelapa sawit dan perusahaannya membuat kanal ke laut, ternyata saat terjadi tsunami tahun 2004 lalu di Aceh, gelombang tsunami sangat jauh masuk ke daratan, pintunya dari kanal yang dibuat oleh perusahaan tersebut. Harus ditunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bisa akan jauh lebih baik jika ditanam di darat dan bukannya di lahan gambut. Ia menerangkan, untuk itu, pihaknya kemudian membuat proyek percontohan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang tidak menggunakan lahan gambut melainkan memanfaatkan lahan tidur dan memberdayakan petani.

Jadi apabila terjadi bencana susul menyusul di Riau berupa musim kemarau yang berkepanjangan disusul dengan kabut asap yang terjadi rutin, maka sangat bisa dimaklumi mengingat area perkebunan kelapa sawit di Riau menempati posisi urutan teratas di Indonesia. Hal yang perlu dilakukan pemerintah tentunya dengan membuat mekanisme kebijakan baik di bidang pengelolaan dan pencegahan maupun dalam hal penegakan hukum.