Semenanjung Kampar di ujung kehancuran

Semenanjung Kampar adalah kawasan hutan rimba di Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau. Warga setempat menyebutnya Hutan Seberang. Penyebutan Hutan Seberang terjadi karena hutan itu berada di seberang Sungai Kampar dari tempat pemukiman warga Teluk Meranti. Teluk Meranti merupakan pemukiman terdekat dengan Semenanjung Kampar.

Semenanjung Kampar ini semakin dibicarakan khalayak ramai karena keberadaan Greenpeace yang membuat Kamp Pembela Iklim (Climate Defender Camp). Masuknya Greenpeace ke Riau mengingat banyaknya terjadi kerusakan hutan Riau akibat pembalakan liar (penebangan liar / illegal loging) baik oleh warga yang dicukongi oleh pengusaha, maupun oleh oknum. Camp Greenpeace mulai dibuat sekitar akhir Oktober ini di Semenanjung Kampar yang diklaim APRIL induk perusahaan PT. RAPP Riau sebagai perusahaan bubur kertas terbesar. (aku tidak tahu pasti hubungan antara APRIL, PT. Riau Andalan Pulp and Paper (PT.RAPP), serta Asia Pulp and Paper).

Semenanjung Kampar terkenal dari tahun 1980-an sebagai tempat pembalakan liar yang paling produktif. Pembalakan liar di kawasan ini sempat mereda di pertengahan 1990-an sampai dengan awal era reformasi, dan kemudian kembali semakin menggila setelah awal roformasi sampai tahun 2007. Redanya pembalakan liar akhir-akhir ini karena makin banyaknya tuntutan masyarakat, lembaga peduli lingkungan, dan desakan politik terhadap pemerintah untuk memerangi pembalakan liar.

Hampir seluruh warga, terutama laki-laki, di desa Teluk Meranti dan sekitarnya itu pernah terlibat langsung dalam kejahatan lingkungan itu. Umumnya mereka menjadi pekerja upahan para cukong kayu dari Pekanbaru hingga negeri jiran, Malaysia. Warga terpengaruh akan penghasilan yang cukup besar, tetapi belum mengerti tentang akibat kerusakan lingkungan.

Namun, ironisnya, hingga kini lebih banyak kenyataan pahit yang melekat di benak warga perihal pembalakan liar. Bagi Pak Thalib (55), yang juga warga setempat, pembalakan liar merupakan lembaran kelam bagi kehidupan Teluk Meranti.
"Uang dari kayu hanya menguntungkan cukong dan segelintir warga yang dekat dengan cukong," katanya.

Menurut dia, pembalakan liar hanya memperkaya cukong kayu karena harga jual kayu sangat rendah. Untuk kayu jenis meranti dan punak, misalnya, cukong hanya mau membeli dari pekerja dengan harga berkisar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu per meter kubik. Sedangkan kayu tersebut dijual cukong ke pembeli lain mencapai Rp150 ribu per meter kubik.

Warga melupakan pesan nenek moyang mereka untuk mempergunakan hasil hutan secukupnya sebagai bahan rumah dan perahu. Pembalakan liar juga membuat warga meninggalkan mata pencaharian mereka sebagai petani dan nelayan yang sudah bertahan turun-temurun.

www.antaranews.com


Setelah masa pembalakan liar, warga sekitar kembali hidup miskin. Hasil penangkapan ikan tidak seperti ketika hutan masih lebat. Kesuburan tanah jauh berkurang. Warga mulai menyadari akan akibat pembalakan liar yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Selain itu, ancaman baru dari kerusakan lingkungan datang dari perusahaan kayu dan perusahaan bubur kertas. Dari 700.000 hektar kawasan Semenanjung Kampar, 300.000 hektar telah berubah fungsi menjadi hutan akasia sebagai akibat program Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. RAPP. Hutan homogen akasia dipanen untuk menghasilkan bubur kertas dan kertas lembaran salah satunya merek Paper One.

Kerusakan lahan gambut memperparah pertanian di kawasan tersebut. Apalagi program cetak sawah oleh Pemerintah Propinsi Riau ternyata tumpang tindih dengan kawasan konsesi PT. RAPP. Pemerintah Propinsi Riau merasa tidak memberikan hak konsesi, yang ternyata diberikan langsung dari Departemen Kehutanan. Beberapa narasumber menyebut "adanya calo yang bermain untuk meluluskan hak konsesi hutan tersebut".

Greenpeace mencoba untuk menyadarkan semua pihak bahwa kehancuran hutan Kawasan Semenanjung Kampar menjadi tanggung jawab penuh pemerintah terutama Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan. Walaupun relawan Greenpeace sempat ditahan oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Pelalawan dan petugas imigrasi Pelalawan, tetapi warga mendukung kegiatan Greenpeace. Sekitar 300 warga dengan menggunakan kapal besar dari Teluk Meranti mendatangi Polres Pelalawan dan meminta agar relawan Greenpeace dibebaskan.

Penolakan atas pembukaan hutan akasia baru oleh perusahaan bubur kertas itu dilakukan oleh 167 warga Teluk Binjai tanpa aparat desa pada tanggal 7 Oktober 2009 lalu. Surat Penyataan Penolakan itu dikirimkan ke perusahaan induk yang berkedudukan di Singapura. Warga juga menolak Surat Dukungan dari aparat desa dan tokoh masyarakat Teluk Binjai berkaitan tentang beroperasinya perusahaan di wilayah Semenanjung Kampar karena dinilai tidak mewakili seluruh masyarakat. Aparat Desa ternyata tidak sinkron dengan warganya dalam memandang pembukaan hutan untuk penanaman akasia tersebut. Warga lebih melihat kepada kerusakan yang bakal terjadi nantinya atas lingkungan hidup sekitar.

APRIL dan Asia Pulp and Paper akhirnya diperintahkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia untuk menghentikan segala kegiatan di Semenanjung Kampar (18 Nov 09). Kedua perusahaan inilah yang menjadi penyumbang kerusakan terbesar bagi hutan kawasan Semenanjung Kampar yang mempunyai ketebalan gambut lebih dari 3 meter.

Di bagian lain, Presiden Direktur RAPP Kusnan Rahmin menolak menanggapi permintaan Menteri Kehutanan tersebut. “Saya baru dengar, nanti saya bahas dulu,” ujarnya seperti dirilis Tempo kemarin (www.riaupos.com).

Baaaahhhhhhhhhhh...........

Jangan hancurkan hutan
Jangan buat hutan rimba menjadi hutan homogen akasia

Selamatkan hutan
Selamatkan anak cucu kita
.

Tulisan ini muncul dari pembicaraanku dengan seorang intel yang tidak turut serta memata-matai gerakan Greenpeace di Riau, beberapa sumber lain yang tidak mau disebutkan jati dirinya, serta tulisan di www.antaranews.com dan greenpeace.org/seasia/id.
Gambar dari greenpeace.org/seasia/id