Festival Lampu Colok 2013 Kota Pekanbaru

Lampu colok adalah nama lampu tradisonal yang biasa digunakan untuk menerangi kegelapan di kampung-kampung. Lampu colok biasanya terbuat dari bahan-bahan seperti bambu yang mirip obor. Ada juga yang dibuat dengan menggunakan kaleng ataupun botol bekas minuman yang didesain menyerupai lampu senter. Setelah itu diisi dengan minyak tanah agar lampu bisa menyala melalui sumbu yang terpasang di bagian tengah lampu.

Kata ‘colok’ sendiri di dalam bahasa Melayu memiliki arti penerang yang berasal dari kata 'suluh'. Masyarakat Melayu sendiri memberi sebutan colok dengan istilah pelite atau pelito, yakni sejenis lampu yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar penyalanya. Di daerah bagian Riau Pesisir, colok sehari-harinya dipakai sebagai alat penerang yang diletakkan di bagian depan pintu rumah. Biasanya digunakan untuk menemani saat anak-anak hendak pergi mengaji ke surau atau untuk pergi pada saat malam hari. Lampu colok juga sangat besar fungsinya bagi masyarakat nelayan yang hendak pergi melaut.


Tradisi Festival Lampu Colok tersebut biasanya dilakukan masyarakat Melayu pada malam ke 27 Ramadhan, atau biasa disebut malam "tujuh likur" atau orang Jawa menyebutnya malam ‘Pitu Likur’. Tradisi ini paling banyak dijumpai di Pekanbaru dan Bengkalis dan beberapa daerah lainnya di Riau. Dahulunya, lampu colok tersebut dinyalakan setiap malam di bulan Ramadhan sebagai penerang jalan menuju Mushalla atau Mesjid ketika hendak shalat melaksanakan shalat Isya dan Taraweh, hanya ketika malam 27 Likur untuk menyambut malam lailatul Qadr, lampu colok dinyalakan lebih banyak sehingga kelihatannya lebih meriah, padahal dulu hanyalah untuk lebih menerangi jalan dan kawasan menuju Mushalla atau Mesjid.

Festival lampu colok yang biasa diadakan di Pekanbaru dan Bengkalis merupakan sajian festival lampu colok terbesar yang ada di Riau. Pembukaan kegiatan festival biasanya juga diiringi dengan aneka tarian khas Melayu seperti Tarian Senandung Syukur Seribu Bulan yang ada di Pekanbaru. Lampu colok yang akan dibuat festival tersebut disusun dalam suatu kerangka kayu dan diikat dengan kawat. Susunan lampu colok tersebut biasanya menggambarkan bentuk-bentuk yang unik seperti bentuk mesjid, kapal, kubah, gerbang atau hal lainnya. Untuk menyalakan lampu colok bagian atas, maka diperlukan seorang "penghidup lampu" yang memanjat di kerangka kayu sampai ke ujung dengan ketinggian sekitar 7 meter. Bagian bawah biasanya dinyalakan dengan menggunakan galah yang ujungnya dipasang obor.


Satu susunan kerangka biasanya bisa menghabiskan 1000 s/d 2000 botol/ kaleng lampu colok, tergantung ukuran besar kecil dan kerumitan desain susunannya. Setiap malam perayaan tradisi tersebut, biasanya akan menghabiskan 1 drum minyak tanah untuk 1 atau 2 desain susunan lampu colok. Penghematan bisa dilakukan jika pemadaman lampu colok dipercepat, sehingga sisa minyak tanah yang masih berada dalam botol lampu colok tersebut bisa ditambahkan untuk malam berikutnya. Biasanya setiap kecamatan memiliki 1 desain utama besar dan 2 desain kecil di tambah lampu penerang jalan yang disusun berjajar. Maka diperkirakan setiap kecamatan membutuhkan sekitar 100 liter tiap malam lebih.


Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi turun temurun, masyarakat Melayu khsususnya menjelang malam-malam penghujung bulan Ramadhan kerap menggunakan penerangan colok tersebut sebagai hiasan di depan rumah, terutama sekali pada saat malam-malam ganjil yang diyakini sebagai malam lailatul qadar. Maka aneka bentuk lampu colok pun dibuat oleh masyarakat dengan menggunakan bahan-bahan seperti kaleng minuman bekas, botol kaca minuman, bambu yang diberi sumbu sampai dengan colok yang dibuat khusus seperti tabung menggunakan bahan baku seng dan alumunium.

Festival Lampu Colok dapat kita temukan di daerah Propinsi Riau seperti Pekanbaru dan Bengkalis. Biasanya akan dipertandingkan antar kecamatan. Seperti di Pekanbaru, pembukaannya dilakukan pada malam ke 27 Ramadhan. Tradisi Festival Lampu Colok ini bukan hanya menjadi khasanah budaya Melayu, kini festival ini juga sudah dikembangkan menjadi salah satu agenda wisata di beberapa kabupaten dan kota di Propinsi Riau. Kesemarakan bulan Ramadhan kian terasa dengan adanya tradisi turun temurun yang diwariskan oleh masyarakat Melayu tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.


Artikel Lampu Colok Pekanbaru 2011