Mengejar Bono Sungai Kampar

Catatan Perjalanan Attayaya
untuk Mengejar Bono Sungai Kampar

ALLAHU AKBAR... begitulah yang terucap dalam hatiku ketika melihat ombak Bono Sungai Kampar itu untuk pertama kalinya, walau dari kejauhan. Kubuktikan sekali lagi bahwa Allah itu Maha Besar. Bono itu mulai terlihat pertama kali olehku dan teman-teman lain dari jarak sekitar 700 meter dari tempat kami berdiri memantau Bono, tepatnya di Tanjung Sebayang di tepi Sungai Kampar. Tempat kami berdiri itu adalah tepi lahan sawit milik sebuah perusahaan perkebunan sawit. Sebagian masyarakat lokal menyebut tanjung itu sebagai Tanjung Membayang atau Tanjung Bebayang. Benar-benar Bono itu datang bagai bayang-bayang dari kejauhan.



Itulah tujuan kami (aku, fiko dan eri), mengejar Bono Sungai Kampar dalam artian melihat secara langsung ombak Bono itu di lokasi terdekat yang bisa kami capai. Aku yang tinggal di Pekanbaru, dari umur belasan pernah mendengar tentang Bono ini, dan baru kali inilah aku melihatnya secara langsung Bono yang kalau dihitung berjarak sekitar 200 km dari Pekanbaru.

Perjalanan mengejar Bono Sungai Kampar ini dimulai hari Jum'at 26 November 2011 sekitar jam 09.30 wib dimana aku dan teman-temanku menaiki mobil angkutan umum trayek Pekanbaru - Pangkalan Kerinci yang berjarak sekitar 90 km. Biaya yang kami keluarkan adalah 20 ribu per orang serasa sangat wajar untuk jarak tersebut yang biasanya ditempuh 1,5 - 2,5 jam.

Sesampainya di Pangkalan Kerinci, kami minta diturunkan di depan Hotel Meranti. Sesuai informasi yang kami dapat bahwa di depan hotel tersebut terdapat mobil angkutan menuju Desa Teluk Meranti. Desa ini merupakan lokasi terjauh yang dapat dicapai oleh kendaraan darat untuk mellihat Bono.

Mobil pun berangkat sekitar jam 13.30 wib menuju Desa Teluk Meranti yang berada dalam wilayah Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Perjalanan dari Pangkalan Kerinci sebagai ibukota Kabupaten Pelalawan menuju Desa Teluk Meranti adalah melalui jalan Lintas Timur Sumatera sejauh sekitar 30 km sampai di Simpang Bunut, lalu berbelok ke kiri untuk memasuki Jalan Lintas Bono. Jalan yang kami lalui sangat mulus dengan aspal yang bagus. Tetapi jalan aspal tersebut hanya sepanjang sekitar 40 km dan dilanjutkan dengan jalan tidak beraspal yang masih berupa tanah keras. Jalan tanah keras sepanjang sekitar 70 km ini direncanakan oleh pemerintah akan di aspal akhir tahun 2012. Dari Simpang Bunut sampai di dekat Desa Teluk Meranti tidak ada persimpangan dan hanya mengikuti jalan utama. Persimpangan ke kiri hanya terdapat di 1 km memasuki desa dengan petunjuk yang sangat jelas.

Sesampainya di desa hari telah sore, kami membayar 50 ribu per orang atas ongkos mobil angkutan tersebut. Selanjutnya mulailah kami mencari penginapan yang kami rencanakan untuk 2 malam. Hanya terdapat 1 penginapan yang memasang tanda. Selain dari itu adalah penginapan yang disediakan masyarakat di rumah-rumah mereka dengan tarif 50 ribu s/d 100 ribu rupiah termasuk sarapan pagi. Rumah-rumah yang mempunyai kamar berlebih, disulap menjadi penginapan darurat yang sangat sesuai dengan harganya. Hal ini cukuplah untuk "meluruskan kaki, memanjangkan badan" alias istirahat.

Pada saat kami datang tersebut, penginapan penuh karena banyaknya orang yang mau melihat Bono. Lagi pula direncanakan akan datang 4 orang Menteri dari Pemerintah RI untuk melihat dan meninjau fasilitas sarana dan prasarana di desa tersebut. Hal ini berkaitan dengan terbukanya Desa Teluk Meranti sebagai salah satu objek wisata alam Bono Sungai Kampar.

Akhirnya kami dapat juga sebuah kamar di rumah penduduk di tepi sungai yang menyediakan kamarnya untuk penginapan. Sebuah kamar kami isi bertiga (3) orang tidaklah menjadi masalah. Kamar dilengkapi dengan kipas angin makin membuat nyaman kamar ini. Di dapur tersedia kamar mandi sehingga kami tidak perlu mandi di sungai. Harap dimaklumi karena wilayah Desa Teluk Meranti berada di Semenanjung Kampar yang merupakan wilayah bertanah gambut bahkan merupakan wilayah bertanah gambut terdalam di dunia menurut Greenpeace, maka air di sekitar wilayah tersebut akan berwarna coklat sesuai warna gambut. Jadi semua orang akan mandi dengan air gambut yang berwarna coklat itu. Hanya air masak saja yang diambil dari sumber lain yang sehat.

Mandi jibang-jibung sudah selesai. Empunya rumah pun menawarkan makanan yang tentunya akan dihitung bersama pembayaran kamarnya. Hmmmmm.... nikmatnya makan di tepi sungai ini. Sebatang rokok menjadi penutup santap malam yang nikmat ini. Belum selesai rokok di tangan habis dihisap. Tiba-tiba datanglah seorang tua dengan senyumnya yang menampakkan beberapa giginya yang tersisa. Dia biasa dipanggil "pak Datuk" atau "Datuk" saja oleh masyarakat setempat. Tujuannya datang hanya untuk ngobrol-ngobrol. Kesempatan ini tak kami sia-siakan untuk sedikit melakukan wawancara terhadap beliau. Alat perekam dan kamera pun disiapkan.

Namanya ABU SOMA. Memulai cerita tentang asal muasal Bono dari abad ke 9 Masehi ketika jaman-jaman kerajaan Nusantara bangkit. Cerita ini merupakan cerita turun temurun. Menurut cerita tersebut, terdapat seorang Juru Mudi kapal (masyarakat sekitar menyebutnya "Tongkang") yang tidak dapat melanjutkan perjalanan dari Pangkalan Kerinci (dahulu "Pulau Lawan" atau Pelalawan) menuju Malaka untuk berniaga. Juru Mudi tersebut kemudian melaporkan kepada Raja bahwa Tongkangnya tersangkut atau kandas di tengah laut di sekitar daerah Teluk Embun. Menurut cerita itu, daerah Semenanjung kampar belum ada dan masih berbentuk lautan.

Raja yang ingin membuktikan kandasnya Tongkang tersebut mengutus Anak Raja Pelalawan, Anak Raja Ranah Tanjung Bunga (Langgam), Anak Raja Pagaruyung, Anak Raja Gunung Sahilan, Anak Raja Macam Pandak sebagai saksi. Berangkatlah mereka dengan menggunakan Tongkang yang lain. Sesampainya di sekitar Teluk Embun, mereka dihadang gelombang besar yang membuat Tongkang mereka juga kandas persis sama seperti Tongkang yang dilaporkan oleh Juru Mudi tadi kepada Raja.

Melihat kondisi kapal Tongkang yang mereka tumpangi kandas, maka Anak Raja Pelalawan berkata, "Iya bono gelombang pasang kata kamu". Kalimat dalam bahasa Pelalawan itu dapat diartikan : Ternyata benar yang kamu katakan. Bono itu sendiri berarti BENAR dalam bahasa Pelalawan. Sejak saat itu, gelombang besar di daerah tersebut disebut Gelombang BONO atau Ombak BONO. Demikianlah Pak Soma menceritakan hal tersebut.

Waktu pun berjalan makin malam. Satu per satu warga yang mendengar cerita Pak Soma beranjak pulang. Sedangkan kami berniat untuk tidak tidur karena ingin melihat Bono dan mendengar suara gemuruh ketika Bono itu datang. Perlu diketahui bahwa Bono akan datang dua (2) kali dalam sehari, yaitu siang hari dan malam hari. Bono siang hari biasanya lebih besar daripada Bono Malam hari.

Sekitar jam 1 malam, suara gemuruh itu pun terdengar bagai suara guruh menderu-deru. Benarlah apa yang dikatakan semua orang. Suara Bono yang membahana di tengah malam yang sunyi. Suara ini biasanya tidak begitu terdengar di siang hari karena banyak suara bising di sekitar desa.

Selang 30 menit dari suara gemuruh itu pertama kali kami dengar, maka air sungai di sekitar kami pun naik pasang secara mendadak. Ketinggian rumah panggung di tepi sungai ini ternyata sudah diperhitungkan oleh penduduk sehingga ketika air naik karena Bono, maka air tidak akan masuk ke dalam rumah. Suatu peristiwa yang sangat fenomenal tentang kecepatan air pasang naik yang sangat cepat tersebut. Aku secara pribadi takjub akan hal itu.

Sekitar jam 3 subuh, air belum juga turun, tetapi mata sudah sangat mengantuk kelelahan. Kami pun memutuskan untuk istirahat tidur dan melanjutkan petualangan mengejar Bono esok hari.


*****

Catatan Perjalanan Attayaya untuk Mengejar Bono Sungai Kampar, akan dilanjutkan pada postingan berikutnya DIKEJAR BONO SUNGAI KAMPAR yang akan memuat photo-photo ombak Bono hasil jepretanku.

Baca :
Jadwal Terjadinya Ombak Bono Sungai Kampar 2012