Terorisme Ekologi

Dengan melihat besarnya nilai kerugian akibat banjir, longsor, kekeringan, dan pencemaran lingkungan akibat pengrusakan hutan, maka tidak salah kiranya kalau para perusak hutan-penebang liar, pengusaha kayu ilegal dan jaringannya, dimasukkan dalam kategori kejahatan teroris ekologi. Sebagaimana UU Terorisme yang keras untuk memberantas terorisme yang amat mencemaskan keselamatan umat manusia di muka bumi, maka UU Terorisme Ekologi juga harus mengacu pada UU Terorisme sekarang ini.

Kita masih ingat, betapa 3.000-an orang tewas dalam sekejap ketika dua pesawat terbang penumpang sengaja ditabrakan oleh teroris ke menara kembar World Trade Center, New York, 11 September 2001 lalu. Begitu pula 11 Maret 2004 lalu, ketika puluhan bom diledakkan teroris di gerbong kereta api penumpang di Madrid, Spanyol sehingga menewaskan ratusan orang. Kedua tragedi itu dalangnya adalah kaum teroris. Ciri-ciri kejahatannya : menebarkan katakutan, terorisme, dan kematian kepada siapa saja dan di mana saja. Mereka tak peduli korbannya siapa. Yang penting publik dan pemerintah merasa ketakutan dan tujuan mereka tercapai.

Dari gambaran di atas, kita pun bisa mengaitkan para perusak hutan sebagai teroris lingkungan atau ekologi.

Kenapa?

Mereka merusak hutan semena-mena tanpa peduli siapa korban dari perusakan hutan itu. Kerugian yang nilainya amat besar seperti disebutkan di atas sudah merupakan bukti betapa para perusak hutan sebetulnya adalah teroris!

Persoalannya, beranikah pemerintah memperlakukan para perusak hutan sebagai tindak kejahatan terorisme?

Itulah yang terjadi persoalan. Jika para perakit bom yang diringkus Minggu (21/3/2004) di Cimanggis, Jakarta di kategorikan sebagai kejahatan terorisme semestinya, pemerintah pun harus bersikap sama terhadap para penebang liar yang bisa ditemukan di mana-mana. Jangan hanya karena tekanan AS aparat keamanan mau bersikap keras terhadap para teroris “bom”, tapi juga sudah saatnya aparat keamanan bersikap keras terhadap teroris ekologi. Teroris yang kedua ini tingkat bahanya lebih besar ketimbang teroris pertama. Kenapa? Terorisme yang pertama hanya mengarahkan ancamannya kepada kelompok tertentu (meski dampaknya menimbulkan ketakutan publik), sedangkan terorisme yang kedua melakukan ancaman secara tidak disadari kepada publik tanpa pandang bulu. Bila menyembunyikan diri. Itulah sebabnya, terorisme ekologi sebetulnya jauh lebih berbahaya ketimbang terorisme konvensional.

Betul, pemerintah telah menyiapkan Perpu “extra ordinary” untuk mengganjar para teroris hutan itu. Masalahnya, punyakah keberanian pemerintah untuk menerapkan Perpu tersebut secara konsekuen dan eksisten tanpa pandang bulu? Pertanyaan itu perlu dikemukakan kepada pemerintah sendiri, khususnya aparat hukum. Jika kita boleh menilai, kinerja aparat hukum dalam mengatasi kejahatan pencurian kayu selama ini hasilnya jauh dari memuaskan. Tapi itu tidak berarti, kita boleh putus asa. Dilihat dari perspektif ini, Perpu Antipencurian Kayu merupakan langkah berani pemerintah meski baru sebatas hitam di atas putih. Kita tinggal menunggu implementasinya.

Setiap manusia, apa pun jabatan dan pekerjaannya, pasti punya hati nurani dan panggilan jiwa. Melihat kerusakan hutan yang demikian parah di Indonesia, rasanya tidak terlalu sulit untuk menggugah nurani dan jiwa para penegak hukum agar bersikap konsisten dan tegas dalam menindak para teroris lingkungan tersebut. Jika dulu UU khusus Terorisme Ekologi yang bisa dipakai untuk menindak tegas para perusak hutan belum ada, sekarang Perpu Antipencurian Kayu sedikit banyak bisa dipakai sebagai alat hukum untuk melindungi kelestarian ekologi, khususnya hutan tropis Indonesia. Dan kita percaya, implementasi Perpu Antipencurian Kayu bukan merupakan sesuatu yang mustahil apalagi jika mengingat betapa parahnya kerusakan hutan di tanah air yang sangat membahayakan masa depan umat manusia.


Sumber :
GLOBAL WARMING
Banjir dan Tragedi Pembalakan Hutan
Prof. Dr. Hadi Alikodra, et.al
Pengantar Prof. Dr. Emil Salim
Penerbit Nuansa
Cetakan I
Desember 2008