Melawan Goliath dengan Jihad

Melawan Goliath dengan Jihad

Awalnya hanya organisasi sosial, lalu menjadi sayap militer garis keras yang dilabeli teroris oleh Barat. Kini berjuang di pemerintahan.

SEBUAH tank Israel berhadapan dengan pejuang Palestina yang melontarkan batu. Gambar di secarik kertas HVS itu terpampang di Taman Kanak-kanak Al-Huda wa al-Nur di Khan Younis—kota di wilayah Gaza. Mendatangi lokasi itu empat tahun silam, wartawan Tempo, Zuhaid el-Qudsy, menyaksikan murid-murid berdoa dibimbing guru mereka: ”Ya, Allah, jadikanlah kami seperti pejuang-pejuang kami, yang syahid di jalan-Mu.”

Sekolah itu bagian dari Mujama al-Islami—organisasi sosial Islam—Hamas. Sejak berdiri pada 1987, Hamas memang punya dua rupa. Di satu sisi, ia lembaga sosial yang ramah. Di sisi sebaliknya, ia Mujahidun ila Falasthin atau Pejuang Islam Palestina yang sangar. Inilah sayap militer yang dilabeli teroris oleh Israel, Amerika Serikat, dan sebagian besar negara Barat.

Adalah Syekh Ahmad Yassin—seorang guru kelahiran 1 Januari 1929—yang mencatatkan organisasi ini secara legal di Israel pada 1978. Ia berpijak ke Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan al-Banna pada 1928 di Mesir. Pemerintah Israel kala itu justru menyokong Hamas, yang hanya berkutat di bidang sosial, moral, dan pendidikan. Tel Aviv—menurut sejumlah pengamat—juga memanfaatkan Hamas untuk menyaingi kepopuleran Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat.

Berkembang sebagai organisasi karitas, Hamas diam-diam juga ditempa sebagai organisasi bersenjata. ”Rahasia” ini baru terkuak di akhir 1987. Yassin, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, meluncurkan Harakat Muqawama al-Islamiya—disingkat Hamas—yang berarti Gerakan Perlawanan Islam.

Tujuan pendirian Hamas dicantumkan di aktanya: ”mengibarkan panji-panji Allah di setiap inci bumi Palestina”. Dengan kata lain: melenyapkan bangsa Israel dari Palestina dan menggantinya dengan negara Islam. Hamas ”baru” ini dibidani Yassin dan tujuh orang berpendidikan tinggi: Abdul Aziz al-Rantissi (dokter spesialis anak), Abdul Fatah Dukhan dan Muhammad Shamaa (keduanya guru), Isa Nashar dan Abu Marzuq (insinyur mesin), Syekh Salah Silada (dosen), dan Ibrahim al-Yazuri (farmakolog).

Peluncuran Hamas menemukan momentumnya dengan kebangkitan Intifadah I, yang bergolak di sepanjang Jalur Gaza. Anak-anak Palestina tak gentar melawan tentara Israel dengan batu-batu sekepalan tangan. Sungguh senjata yang tak imbang untuk melawan rudal Israel. Persis seperti legenda Daud—leluhur Bani Israel—ketika menghadapi raksasa Goliath yang kejam.

Sejak itu, sayap-sayap militer Hamas beroperasi secara terbuka. Mereka meluncurkan sejumlah serangan balasan—termasuk bom bunuh diri—ke kubu Israel.

Hamas tak mengenal kompromi dengan Israel. Ini berbeda dengan Otoritas Palestina pimpinan Arafat. Pada Agustus 1993, bos PLO itu duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Kesepakatan Oslo. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa ”memerintah” di kedua wilayah itu. Arafat ”mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai”. Hamas tersulut amarah.

Hubungan dua organisasi sebangsa ini memanas. Ketika Syekh Yassin wafat dirudal Israel pada 22 Maret 2004, Arafat menyebut kematian pemimpin spiritual Hamas itu ”gugurnya seorang martir”. Ucapan yang menyejukkan Hamas.

Pada Januari 2006, Hamas melangkah ke arena politik formal. Secara mengejutkan, mereka mendulang kemenangan—meraih 76 dari 132 kursi—dalam pemilihan anggota parlemen Palestina. Hamas mengalahkan Fatah, yang sebelumnya berjaya tapi belakangan dinilai korup dan tak efektif.

Kabinet yang didominasi orang Hamas terbentuk. Mahmoud al-Zahar—pemimpin organisasi itu—menyemburkan tekadnya untuk ”menggantung peta dunia di dinding rumahku di Gaza tanpa Israel di dalamnya”. Hingga hari ini, saat Israel masih membabi-buta menghajar Gaza, Zahar terpaksa hanya puas bermimpi.

Andari Karina Anom (dari berbagai sumber)




http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/01/05/ITR/mbm.20090105.ITR129168.id.html